Thursday, May 27, 2010

Perlunya Pendidikan Seks Yang Benar Untuk Remaja

seks educationLebih dari sepertiga konsultasi masalah pacaran yang masuk ke hotline telepon KISARA PKBI Bali hingga Desember 2008 berkaitan dengan aktifitas seksual remaja. Terdapat kecenderungan remaja baru akan berkonsultasi setelah melakukan aktifitas seksual aktif. Remaja berhubungan seksual pranikah karena coba-coba dan tanpa direncanakan, terbawa suasana, dan muculnya dorongan seksual akibat rangsangan media pornografi. Pengalaman pribadi dalam sebuah konseling tatap muka juga ditemukan remaja kelas 2 SMP yang sudah melakukan kebiasaan masturbasi berlebihan. Awalnya diakui kebiasaan ini muncul karena coba-coba akibat saran dan pengaruh dari teman sebayanya.

Contoh diatas hanyalah segelintir dari berbagai permasalahan remaja berkaitan dengan aktifitas seksual. Belum lagi kasus-kasus kekerasan seksual yang mengakibatkan trauma, hubungan seksual pranikah (HSPN), kehamilan tidak diinginkan (KTD) pada remaja, aborsi pada remaja, pernikahan dini di usia muda, penularan IMS ataupun HIV/AIDS pada remaja, penyalahgunaan narkoba hingga kriminalitas pada remaja yang nampaknya masih belum banyak diangkat dan dibahas secara mendalam. Semua keadaan tersebut ibarat “Ice Berg Phenomena” yang terlihat hanya puncaknya, padahal didasarnya masih banyak kasus belum terdeteksi.

Dari data BKKBN bahwa kasus aborsi di Indonesia diperkirakan sebesar 2,3 juta pertahun dan sekitar 20% diantaranya terjadi pada remaja perempuan. Aborsi pada remaja biasanya dilakukan oleh remaja perempuan yang mengalami KTD baik yang belum menikah maupun yang sudah. Masalah yang tidak terselesaikan ini ikut menyumbang tingginya angka kematian ibu di Indonesia. Berbagai alasan pun disebutkan sebagai penyebab dilakukannya pengguguran kandungan seperti tidak ingin memiliki anak sebab khawatir mengganggu sekolah, kontrak karier dan dianggap belum dewasa sehingga tidak mampu bertanggung jawab (Kisara Youth Clinic, September 2009). Bahkan ada alasan negatif yang sering dilontarkan orang tua, yaitu perbuatan remaja itu adalah aib bagi keluarga. “Betapa mirisnya, andaikan orang tua tersebut mencoba berganti peran seolah dirinya adalah bayi yang dikandung anaknya, apa yang akan dipikirkannya!”

Salah satu penyebab pasti berbagai permasalahan pada remaja terjadi akibat pengetahuan seksualitas saat ini masih kurang dan tidak tepat. Tidak jarang, pengetahuan kesehatan reproduksi yang diperoleh hanyalah sebatas informasi belaka dari narasumber yang tidak berkualifikasi, bukan berasal dari media pendidikan. Keadaan ini terjadi karena remaja tidak mendapatkan pendidikan seks terutamanya dari orang tua dan guru selaku orang tua di sekolah. Tidak mengherankan akibatnya keingintahuan yang sangat berlebihan mengenai seksualitas didapatkan dari berbagai media yang salah. Hal ini sesuai berdasarkan survei sederhana yang dilakukan KISARA tahun 2004 bahwa hampir 60% persen remaja SMP-SMA se-Bali sudah melihat media-media porno yang tidak dianjurkan baik berasal dari situs internet, VCD ataupun majalah yang memuatnya.

Rasa ingin tahu para remaja seringkali kurang disertai pertimbangan rasional akan efek lanjut dari perbuatannya. Hal ini terjadi akibat kurangnya kontrol orang tua dan minimnya pendidikan seks dari sekolah dan lembaga lainnya. Sementara itu berbagai informasi seks dari media massa yang tidak sesuai dengan norma-norma yang dianut dijadikannya pedoman oleh remaja, sehingga memunculkan keruwetan dan kebingungan bagi remaja untuk menilai secara logis “yang mana cinta dan mana seks“. Secara perlahan akan timbul gesekan-gesekan dengan orang tua maupun juga terhadap lingkungan sekitarnya.

Gambaran kenikmatan seks diberbagai media mengakibatkan fantasi-fantasi seks yang tidak terarah dan arti cinta pun semakin bias. Disinilah titik rawan remaja dan ketidakmampuannya menahan gejolak pun akan muncul. Tidaklah salah kalau akhirnya remaja yang mengalami pubertas mulai salah menyalurkan dorongan seksualnya yang tinggi dengan melakukan aktifitas (hubungan) seksual. Padahal saat itu, remaja masih bersekolah dan belum matang secara mental. Ingat analogi remaja yang bisa kita ibaratkan sebagai “Bayi Raksasa, dimana badannya laksana Raksasa (Pubertas), namun pola pikir dan tingkah lakunya masihlah Bayi (belum matang)”.

payung condom

Orang tua selaku mitra bina utama kaum muda yang notabene remajanya sendiri hendaknya memberikan pendidikan seks kepada anak-anaknya sejak dini. Ibarat sebuah ungkapan yang mengatakan, “Apa salahnya kita menyiapkan payung sebelum hujan datang? Apa buruknya seorang remaja membawa Kondom sebelum dirinya terjerebab oleh IMS? Selayaknya pentingnya memberikan pendidikan seks yang tepat dan sejak dini guna menghindari perilaku seksualitas yang salah“.

Sebagai orang tua seharusnya dapat menjawab dengan baik dan tepat ketika anaknya bertanya soal seks. Jawaban-jawaban yang jujur, mudah dipahami, sesuai dengan dengan usianya serta dibaluti nasehat yang sebaiknya diberikan sehingga tidak terjadi salah penafsiran. Oleh karena itulah, orang tua dituntut membekali diri dengan pengetahuan yang cukup tentang kesehatan seksual dan psikologi remaja.

Sangatlah mustahil dan tidak adil bila Kita melarang remaja untuk saling berinteraksi dan berteman dengan lawan jenisnya ataupun hingga melarang mereka berpacaran. Secara kesehatan jiwa kondisi tersebut adalah hal yang wajar dan baik bagi perkembangan jiwa dan aspek kematangan emosional remaja. Namun tetap haruslah dibatasi dengan rambu-rambu agar proses perkenalan tersebut tidak dilakukan secara berlebihan, apalagi hingga melakukan aktifitas seksual yang pada akhirnya menjadi benang merah kasus aborsi.

Pada akhirnya jawaban yang tepat adalah memfasilitasi pelaksanaan pendidikan kesehatan reproduksi remaja yang benar dan disesuaikan dengan kondisi masyarakat kita sehingga dapat mengurangi konflik dan mitos-mitos salah yang selama ini berkembang di masyarakat kita. Tentunya dengan memahami kesehatan seksual dan segala resikonya apabila melakukan hubungan seksual diluar nikah, diharapkan membuat remaja kita semakin berhati-hati dan menjaga dirinya, termasuk ketika mereka memutuskan untuk menjalin hubungan dengan pasangannya.

Untuk remaja (usia 10-24 tahun) juga diberikan pendidikan moral dan pemahaman konsep pacaran sehat serta tak lupa mengamalkan ABCDE (Abstinentia, Be Faithfull, Condom, Don’t Inject And Education). Yang perlu ditekankan juga adalah konsep cinta dan lakukan puasa seks selama masih remaja, jangan melakukan hubungan seksual jika belum matang dan tidak siap untuk bertanggung jawab. Dengan begitu diharapkan mampu secara tepat memberdayakan para remaja dan menjadi lebih bertanggung jawab terhadap dirinya. Diperlukan pula kerjasama yang sinergis antara semua pihak yang terkait untuk menunjukkan kepeduliannya kepada kaum muda.

abc

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home